Beras Merauke Dikirim ke Jawa, Bukti Tol Laut Mampu Dongkrak Ekonomi
JAKARTA, Pojokbebas.com- Program Tol Laut tidak hanya menciptakan pemerataan distribusi logistik di wilayah Timur Indonesia, tetapi juga menjadi angin segar bagi sejumlah daerah untuk meningkatkan perekonomian mereka.
Menurut Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi, hal ini terlihat dari Merauke yang dulunya hanya menjadi titik singgah, kini menjadi produsen beras yang berkontribusi signifikan mengisi angkutan balik sekaligus mendongkrak perekonomian daerah tersebut.
Budi menyatakan itu dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema 10 ‘Tahun Menghubungkan Indonesia untuk Pemerataan dan Keadilan’. Senin (30/9).
“Contohnya di Merauke, dulu hanya jadi titik singgah Tol Laut. Sekarang dia jadi produsen beras. Hampir seluruh Papua itu dicover dari Merauke, ini yang akan kita kembangkan di titik singgah lain,” jelasnya.
Perubahan status Merauke dari titik singgah menjadi produsen beras bukan terjadi secara instan. Peran aktif dari pemerintah daerah (Pemda) dan masyarakat setempat menjadi kunci utama dalam memanfaatkan angin segar kehadiran Tol Laut.
Pemda diharapkan proaktif untuk mendorong masyarakat agar memproduksi komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai muatan balik ke wilayah Barat.
Menhub mengatakan, transformasi tersebut membuktikan bahwa kehadiran Tol Laut bukan sekadar infrastruktur penghubung, melainkan pemicu pertumbuhan ekonomi daerah.
“Program ini memberikan angin segar bagi daerah-daerah yang selama ini mengalami disparitas harga bahan pokok karena kendala logistik,” katanya.
Sejak diluncurkan pada 2015, Tol Laut telah mengalami banyak perkembangan, baik dari segi trayek, armada, maupun dampaknya terhadap perekonomian daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan perbatasan (3TP).
Di awal peluncurannya, program ini hanya melayani 11 trayek dengan subsidi penuh dari pemerintah. Namun kini, jumlah trayek telah berkembang pesat menjadi 39 trayek.
Pemerintah menetapkan wilayah Timur menjadi prioritas program Tol Laut berdasarkan kondisi perekonomian yang masih memerlukan dukungan.
Dengan memilih titik-titik di wilayah 3TP yang memiliki kondisi ekonomi kurang berkembang dan disparitas harga bahan pokok yang tinggi, program ini dapat memberikan dampak nyata.
“Presiden mengintervensi, bahwa logistik di daerah timur itu belum maksimal. Dengan dasar itu, ada inisiasi untuk menghubungkan dari Barat ke Timur melalui infrastruktur konektivitas yang murah,” jelasnya.
Dalam upayanya mendukung Tol Laut, pemerintah telah membangun 100 unit kapal untuk mendukung armada Tol Laut dan angkutan perintis di daerah-daerah terpencil.
Dari 39 trayek yang telah beroperasi, sebagian besar masih disubsidi oleh pemerintah.
Namun, ke depan, seiring dengan peningkatan aktivitas ekonomi di daerah-daerah tersebut, beberapa trayek dapat beralih menjadi angkutan komersial yang mandiri.
“Ilustrasi sederhana, kalau di darat itu seperti Kopaja. Tempat-tempat yang tidak mencapai break even point (BEP), itu disubsidi,” tandanya.
“Sama halnya dengan Tol Laut, angkutan yang disubsidi ini bisa menjadi angkutan komersil jika volume muatannya sudah memadai,” sambungnya.
Kebijakan ini bertujuan agar subsidi pemerintah dapat dialokasikan lebih efektif, hanya untuk trayek yang benar-benar memerlukan dukungan.
Salah satu contoh nyata dari perubahan ini dapat dilihat di Maluku Utara (Malut).
Awalnya, trayek di Maluku Utara sepenuhnya disubsidi pemerintah dengan kapasitas angkut 20-40 kontainer.
Namun, seiring waktu, trayek ini kini dapat beroperasi mandiri tanpa subsidi. Subsidi yang tadinya dialokasikan untuk Maluku Utara dapat dialihkan ke kota-kota lain yang masih membutuhkan dukungan.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan kegiatan ekonomi di daerah, ketergantungan terhadap subsidi pemerintah dapat berkurang secara bertahap, memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk memberikan bantuan ke wilayah-wilayah lain yang masih membutuhkan.
Budi Karya juga menjelaskan, keberhasilan program Tol Laut tidak hanya diukur dari jumlah trayek dan volume barang yang diangkut, tetapi juga dari kemampuan daerah untuk menyediakan muatan balik.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah daerah yang dulunya hanya menjadi titik singgah Tol Laut kini telah berkembang menjadi produsen bahan pokok yang signifikan dan berkontribusi ke daerah-daerah lain.
“Aktivitas dan maksimalisasi dari angkutan ini selalu jadi concern. Kalau bicara muatan, okupansi ini menjadi indikator keberhasilan program Tol Laut,” jelasnya.
Budi juga menegaskan, Pemda memiliki tanggung jawab untuk mendorong masyarakat agar lebih produktif, sehingga hasil produksi mereka bisa diangkut melalui Tol Laut ke wilayah Barat, menciptakan perputaran ekonomi yang lebih baik bagi daerah tersebut.
“Satu sisi kita bikin Tol Laut, di sisi lain Pemda menstimulir masyarakat untuk berproduksi yang menjadi angkutan balik ke wilayah Barat. Kalau mereka bisa mengirimkan itu kan berarti mereka terima uang, perputaran ekonomi makin hidup,” tegasnya.
Dengan adanya pengembangan yang berkelanjutan, program Tol Laut diharapkan mampu menciptakan rantai ekonomi yang lebih seimbang antara wilayah Barat dan Timur Indonesia.
Program ini telah membuktikan bahwa dengan perencanaan yang matang dan dukungan penuh dari pemerintah pusat serta inisiatif pemerintah daerah, daerah-daerah yang selama ini dianggap tertinggal dapat menjadi produsen yang berkontribusi pada stabilitas ekonomi nasional.