Guru yang Menulis

Oleh: Sil Joni*

199
Guru yang Menulis
Penulis / Sil Joni

 

IDEALNYA, ‘menulis’ itu bukan kegiatan yang sulit dilakukan oleh seorang guru. Dasarnya adalah hampir setiap hari mereka ‘bergaul’ dengan aktivitas akademik itu, baik di lingkungan sekolah maupun di rumah. Apalagi, kita tahu bahwa para guru itu, umumnya jebolan ‘sekolah tinggi’, minimal berijazah diploma tiga.

Siapa pun tahu bahwa untuk meraih ‘titel sarjana’, seorang mahasiswa harus mengerjakan tugas akhir berupa karya tulis seperti skripsi untuk program strata satu dan paper atau makalah untuk program diploma tiga. Itu berarti, ketika seseorang dinyatakan ‘lulus’, maka tentu saja, dianggap bisa memproduksi karya tulis.

Belum lagi kita berbicara tentang pengerjaan tugas-tugas akademik selama mengikuti proses perkuliahan yang umumnya selalu berhubungan dengan dunia membaca dan menulis (literasi), maka kesimpulan kita semakin kuat bahwa ‘menulis’ sudah menjadi bagian dari ‘cara hidup (way of life)’ para guru. Dengan kondisi melek literasi semacam itu, semestinya para guru bisa dengan mudah menularkan budaya literasi itu kepada peserta didik.

Dengan demikian, tugas guru tidak hanya berurusan dengan ‘aktivitas transfer ilmu’ (mengajar), tetapi juga pemasok atau penyemai peradaban akademik seperti membaca, menulis dan berdiskusi. Peserta didik mesti diarahkan agar bisa mencintai dan menghidupkan kultur literasi. Apa gunanya, jika para siswa mendapat nilai tinggi secara statistik, tetapi tidak punya kapasitas berliterasi yang baik.

Bapak pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pendidik yang tidak hanya piawai mentransmisikan ilmu di kelas, pribadi yang sangat konsisten menghidupkan peradaban ilmiah. Beliau adalah seorang penulis yang produktif dan pembaca yang rakus.

Karena itu, saya kira, jika kika mendaku sebagai guru Indonesia, tidak bisa ditawar lagi untuk meneladani sosok Ki Hadjar yang rajin membaca, menulis, dan mengamati situasi aktual kebangsaan. Kepekaan akan isu sosial aktual di tengah masyarakat, selain diekspresikan dalam bahasa verbal, seharusnya para guru bisa mengoptimalisasi media tulisan. Kita bisa menuangkan gagasan kritis, kreatif, dan progresif untuk merespons pelbagai problem sosial sekaligus sebagai satu bentuk kontribusi untuk memperbaiki tatanan yang sedang berjalan.

BACA JUGA :  Keunggulan Lain "Loyola": Perspektif Alumni

Untuk sampai pada tingkat cakap dalam menulis, para guru juga harus jadi pembaca yang rakus dan tekun. Rasanya, mustahil seorang guru ‘terampil dalam menulis’, jika tidak punya kebiasaan yang baik dalam membaca. Minat baca yang rendah, tentu saja berimplikasi pada ketidakmampuan menghasilkan tulisan yang bernas.

Mungkin rendahnya minat baca para guru, menjadi salah satu sebab mengapa tidak banyak guru yang punya kemampuan menulis dengan baik. Boleh jadi, hipotesis ini berlebihan. Tetapi, coba sesekali kita bertanya kepada para guru perihal berapa judul buku yang mereka baca setiap minggu dan apa judul buku terakhir yang mereka baca.

Saya menduga bahwa mayoritas guru akan menjawab nol buku. Jika tidak ada buku yang dibaca, tentu saja mereka tidak mungkin menyebut ‘apa judul buku’ yang mereka dalam hari-hari terakhir sebelum pertanyaan itu dilontarkan. Jika ada yang menjawab satu atau dua buku yang dibaca, dugaan saya, itu adalah buku teks (pelajaran).

Saya berharap, opini di atas tidak sepenuhnya benar. Mungkin kenyataan seperti itu hanya kasuistik sifatnya. Sampai detik ini, saya belum mendapatkan hasil riset khusus yang memetakan bagaimana para guru di Indonesia membaca buku. Apakah membaca buku itu sudah membudaya dalam diri para guru? Jenis buku apa saja (jika punya minat) yang mereka baca?

Membaca adalah investasi. Semakin banyak buku bermutu yang dibaca oleh para guru, maka peluang untuk menyebarkan ide-ide berkualitas baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat pada umumnya melalui media tulisan, semakin terbuka lebar. Dengan demikian, para guru tidak hanya mengandalkan ‘buku teks’ yang perspektifnya amat terbatas. Sebaliknya, para guru bisa meramu materi ajar melalui telaahan yang kritis terhadap buku-buku yang dibacanya.

BACA JUGA :  Dari Komunitas Basis Gerejani Menuju Komunitas Basis Manusiawi: Sebuah Upaya Gereja Katolik Dalam Membangun Dialog Antar-Agama Di Indonesia (Bagian V)

Itu berati membaca saja tidak cukup. Setelah sekian banyak buku yang dibaca, para guru mesti membuat elaborasi dan refleksi kritis untuk disebarkan kepada khalayak pembaca dan terutama kepada peserta didik. Para guru akan semakin aktif dalam aneka forum diskusi dan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka di ruang-ruang kelas. Jadi, sekali lagi, ruang kelas menjadi lokus persemaian peradaban, bukan hanya materi pelajaran. Ungkapan ‘membaca itu menabung dan menulis itu beramal’, tentu tidak jauh dari kebenaran.

Sampai di titik ini, pertanyaan kita adalah mengapa dalam kenyataannya para guru ‘tak tertarik’ untuk menekuni dunia menulis? Mengapa untuk mengerjakan hal-hal administratif dalam pembelajaran yang dibuat dalam bentuk tulisan, pada umumnya dikerjakan dengan baik oleh para guru, tetapi untuk menulis demi memperbaiki peradaban literasi, tidak banyak guru yang terpanggil?

Saya menduga, kelihatannya para guru masih merasa bahwa komponen administratif merupakan hal paling penting. Energi atensi para guru lebih banyak dihabiskan untuk mengurus hal-hal administratif-teknis yang dibuat dalam bentuk tulisan. Umumnya, mereka merasa sudah berliterasi ketika pelbagai perangkat pembelajaran itu sudah beres.

Tidak ada yang salah dengan anggapan semacam ini. Memang sebagai guru profesional, hal pertama dan utama adalah ‘membereskan’ pelbagai perangkat pembelajaran tersebut. Tetapi, saya kira, keseriusan dalam menekuni aktivitas menulis, bisa memacu tingkat kompetensi dan profesionalisme seorang guru.

Pada sisi yang lain, argumen bahwa ‘menulis’ itu sebagai hobi masih diamini oleh sebagian guru. Ketika menulis dilihat sebagai ‘kesenangan pribadi’, maka tidak heran jika ada banyak yang apatis dengan kegiatan menulis itu. Alasannya adalah menulis itu bukan ‘tugas utama dan panggilan’ sebagai guru, tetapi urusan privat untuk mengisi waktu senggang semata.

Berita gembiranya adalah pemerintah coba membuat semacam terobosan bagaimana menggenjot kemampuan menulis para guru. Menghasilkan karya tulis baik yang diterbitkan dalam bentuk buku maupun yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dan media massa, menjadi salah satu syarat untuk mendapat tunjangan profesi dan kenaikan pangkat atau golongan.

BACA JUGA :  Mempertimbangkan Pendelegasian Perempuan dalam Proses Adat Perkawinan di Sikka

Tetapi, hemat saya, intensi dan motivasi utama dalam menggauli aktivitas menulis itu, bukan pertama-tama untuk ‘naik pangkat’, tetapi yang paling penting memanifestasikan misi sebagai ‘agen persemaian peradaban ilmiah’ kepada peserta didik dan masyarakat. Bagaimana pun juga, guru merupakan ‘kelompok intelektual’ yang sangat menjunjung tinggi corak tradisi akademik seperti membaca dan menulis. Spirit menulis mesti mengejawantah dalam tubuh guru agar ‘membiakkan peradaban berkualitas’ kepada generasi bangsa.

Akhirnya, menyitir ungkapan Pramoedya Ananta Toer, “para guru boleh pandai setinggi langit, tetapi selama kita tidak menulis, kita akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Anak rohani yang diproduksi oleh guru bisa dilihat sebagai ‘legacy’ yang bisa mengawetkan ‘nama sang guru’ hingga kekal.

Guru hebat (great teacher) itu, tidak hanya diukur dari kepandaian dalam ‘memuntahkan ilmu’ kepada peserta didik, tetapi juga mendisemenasikan gagasan positif dan berkualitas melalui tulisan. Wacana verbal yang terlontar di kelas hanya bersifat sesaat. Tetapi jika kenangan tentang aneka aktivitas pembelajaran itu ‘diabadikan’ melalui media tulisan, maka guru tersebut bisa hidup 1000 tahun dan bahkan selamanya.

Singkat cerita, masih ditunggu kehadiran dan kiprah para guru yang punya kemampuan untuk menulis. Saya sendiri, terus berjuang untuk memenuhi kerinduan akan hadirnya ‘guru yang menulis’. Semoga semakin banyak guru di Manggarai Barat (Mabar) ini yang ‘tergerak hati’ untuk menjadi ‘guru plus’; guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga guru yang menulis.

*) Penulis adalah warga jelata di Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

hanura

Leave A Reply

Your email address will not be published.