Ketika Transpuan Sikka dan Awak Media “Buka-Bukaan” di Kantor Redaksi florespedia.id Maumere
Oleh Walburgus Abulat (Wartawan Pojokbebas.com)

SUASANA di Kantor Redaksi florespedia.id yang berlokasi di Jalan Moan Subu Sadipun, Kelurahan Beru, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka pada Minggu 6 Maret 2022 agak lain dari minggu sebelumnya. Maklum pada Minggu pertama di bulan Maret ini, ada dinamika baru di Kantor Redaksi yang saat ini dipimpin anak muda (Pemimpin Redaksi) Mario Wihelmus Patrimonio Sina itu.
Dinamika itu diawali dengan gelaran acara menarik bertajuk “Temu Jurnalis dengan Komunitas Transpuan”.
Ya, mengacu pada tema itu, sudah bisa ditebak siapa-siapa yang hadir dalam kegiatan ini.
So, pasti ada para jurnalis. Para awak media yang berkumpul di lokasi itu saat itu di antaranya Karel Pandu (Timex), Walburgus Abulat (Florespos.net & Pojokbebas.com); Tovik Koban (TVOne), Angga (Media
Indonesia), Yunus Atabara (Victory News), Athy Meak (Florespedia.id), Roswita Irma Suswanti (Targetindo NTT), Yopi (Ekora NTT), Cen Cabaresi (Radio Suara Sikka), Albert (Florespedia.id), Sas (Floresnews) Erik
(Rakyat NTT), Ribery (PikiranRakyat), Marsel (Lenterapos).
Sementara dari Transpuan/Waria yang hadir di antaranya Ketua Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas) Ma Vera, Ketua Komunitas Fajar Sikka Bunda Mayora; Inang Novi, Yolan Miranda, Vera, Halimah, Macin, Cece, Ambarwati, Mega, dan Sheila.Transpuan ini berasal dari pelbagai daerah
di Sikka dan dari luar Sikka.
Perjumpaan dua kelompok yang luar biasa ini diawali dengan doa yang dipimpin oleh Bunda Mayora. Usai dibuka dengan doa dilanjutkan dengan sapaan pembukaan dari Pemimpin Redaksi Florespedia.id, Mario Wihelmus Patrimonio Sina.
Mario dalam sapaanya antara lain menyampaikan selamat datang kepada awak media dan transpuan yang hadir dan yang berkenan menggelar Temu jurnalis dengan Komunitas Transpuan.”
“Kami berharap agar pertemuan ini bisa menciptakan ruang yang inklusi/yang terbuka kepada komunitas yang beragam dan heteroseksual,” kata Mario.
Mario berharap agar dengan kegiatan ini selain sebagai ajang silaturahmi, juga bisa ajang untuk terciptanya ruang inklusi bagi media yang ramah terhadap keberagaman gender dan seksualitas di Nian Tana.
“Semoga kegiatan ini sebagai wahana silaturahmi dan saling tukar pikiran terkait kehidupan komunitas minoritas gender dan seksualitas di Kabupaten Sikka,” kata Mario.
Setelah sapaan awal oleh tuan rumah, acara Temu Jurnalis dengan Komunitas Transpuan pun ini dilanjutkan dengan menonton Video Dokumenter yang menarasikan satu keluarga di Bola yang memiliki tiga orang waria/transpuan yang diliput secara eksklusif oleh oleh BBC News. Dalam video dokumenter ini sang ibu dan ayah dari ketiga transpuan itu sempat mengalami pergulatan batin hebat setelah mengetahui tiga dari buah hati mereka berorientasi transpuan. Meski pergulatan masih belum terurai, namun sang mama menerima kondisi ketiga anaknya sebagai keunikan yang bukan dikehendaki oleh ia sebagai seorang Ibu yang melahirkan mereka.
“Apakah saya yang menghendaki supaya kamu lahir demikian (sebagai waria, Red)? Tidak. Bukan saya.
Itu merupakan rencana Tuhan,” kata Ibu dari ketiga anak itu.
Nampak dalam cuplikan video ini, ketiga waria itu tampil percaya diri dan tak mudah tergoyah di tengah stigmatisasi buruk terhadap waria, yang datangnya tidak saja dari pihak luar, tetapi juga dari dalam
keluarga sendiri.Ketiga waria dalam satu keluarga ini melakukan hal-hal positif seperti menenun, membuka usaha jualan dan bekerja sebagaimana manusia terlahir lainnya yang bersifat positif bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Usai menonton cuplikan video ini dilanjutkan dengan syering pengalaman dari enam perwakilan transpuan yakni Inang Novi, Yolan Miranda, Vera, Halimah, Macin, dan Bunda Mayora.
Ma Vera yang pada tahun ini merayakan 25 tahun sebagai waria (catatan Ma Vera lebih senang menyebut waria daripada terminologi transpuan), dengan berapi-api menceritakan kisah suka duka keberadaanya selama 25 tahun sebagai waria. Ma Veri sebagai Ketua Persatuan Waria Kabupaten ikka (Perwakas) mengakui bahwa selama berkarya puluhan tahun dan telah memimpin Perwakas, ia telah menyelenggarakan beberapa kegiatan penting di antaranya pemilihan ratu waria Sikka tahun 2000, pemilihan ratu waria Flores dan Lembata pada tahun 2010, turnamen waria, dan aneka acara positif lainnya yang diselenggarakan Perwakas, serta beberapa kegiatan terkait di sejumlah negara di dunia.
Selain Ma Vera, juga Transpuan asal Wuring Halimah menyeringkan pengalamannya seputar bagaimana keluarganya menyikapi pascadirinya mulai merawat rambut agar panjang, memakai bra (BH) dan mendandani diri seperti kaum perempuan. “Melihat saya berubah seperti ini, kakek saya tidak terima. Termasuk tidak menerima uang hasil keringat saya, yang mereka nilai tidak halal,” kisah Halimah.
Halimah mengakui sangat menikmati keberadaanya sebagai transpuan yang merupakan jati dirinya, meski badai diskriminasi dan stigmatisasi terus menghantui dirinya.”Menjadi transpuan itu tidak gampang. Tetapi,
saya tetap kuat dan selalu senang menjalani hidup saya seperti ini,” kata Halimah.
Sejalan dengan Ma Vera dan Halimah, Transpuan asal Lembata, namun berdomisili di Maumere Yolanda juga buka-bukaan menyeringkan pengalamannya selama memutuskan menjalani kehidupannya sebagai waria. Yolanda mengakui menjadi waria itu sangat tidak gampang, dan harus dibutuhkan mental baja. Yolanda mengakui ia terlahir dari satu keluarga dengan lima orang anak, dan ia merupakan satu-satunya anak laki-laki. “Sejak kecil, saya selalu bermain dengan 4 saudara saya yang perempuan semua. Saya selalu memakai pakaian perempuan,” kisah Yolanda.

Setelah menjadi dewasa, lanjut Yolanda, ia merantau ke Jawa dan menjalani hidup sebagai transpuan di beberapa tempat hiburan di Jawa. Sekembali dari Jawa, l Lanjut Yolanda, ayahnya menyarankannya untuk
meminang calon istri. Menanggapi permintaan orang tuanya itu, Yolanda secara diplomatis menjawab “Bapa, saya bisa ambil istri, mau tiga atau empat orang. Tapi ambil buat apa, kasih untuk di rumah saja. Sebab
saya menikmati hidup saya sebagai transpuan,” ungkap Yolanda dengan polos.
Syering pengalaman yang buka-bukaan seputar kehidupan transpuan oleh tiga perwakilan di atas, membuat semangat salah satu transpuan termuda bernama Macin termotivasi untuk buka-bukaan membagikan pengalamannya. Macin yang baru berusia 20-an tahun lebih dan saat ini berstatus sebagai mahasiswa prodi Akper pada salah satu perguruan tinggi mengaku orang tuanya sangat mendambakan kelahiran anak perempuan di saat ia masih dalam kandungan ibunya. “Karena mengharapkan bayi perempuan maka
orang tua saya menyiapkan pakaian baby untuk anak perempuan. Namun kenyataannya yang lahir laki-laki. Jadi aku di masa kecil-selalu pakaian pakaian perempuan,” ujar Macin polos.
Selain mengenakan pakaian ala perempuan, lanjut Macin, ia pun sejak kelas 4 SD sudah pintar make up, merawat diri dan memakai anting. “Perubahan saya ini membuat bapa saya marah, dan melakukan beberapa
tindakan kekerasan. Namun saya tetap tabah.Apalagi mama saya mulai menerima saya apa adanya. Saya pun tetap menunjukkan keberadaan saya sebagai transpuan,” ujarnya bangga.
Akibat sikap yang keras dan tetap ngotot pilihan menjadi transpuan, maka ia tidak mendapatkan dukungan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi. “Untuk melanjutkan cita-cita ke jenjang tinggi, saya
harus mencari kerja. Saya akhirnya merantau ke Surabaya dengan bermodalkan uang Rp500 ribu. Saya berangkat ke Surabaya dengan menggunakan mobil ekspedisi,” kisahnya.
Setiba di Surabaya, lanjut Macin, ia bekerja sebagai kuli kasar dan bekerja di beberapa salon untuk menghidupi diri.“Saya juga mulai membangun relasi dengan banyak orang, termasuk dengan transpuan
lainnya,Ketua Perwakas Sikka Ma Vera, dan beberapa lainnya. Berkat relasi yang baik, maka ada kenalan yang menginformasikan seputar program beasiswa. Saya ikuti program itu, dan lulus untuk melanjutkan
studi di Akper. Cita-cita saya dari kecil jadi perawat,” kata Macin.
Macin bersaksi bahwa ia sangat senang dengan keberadaannya sebagai transpuan dengan mengembangkan aneka bakat dan keterampilan yang dimilikinya, termasuk untuk bekerja di salon dan merias pengantin.“Saya tetap menjalankan kehidupan saya sebagai transpuan yang bermartabat,” kata Macin.
Pengalaman Bekerja di Seminari Motivasi Hidup Transpuan Asal Koting
Pengalaman kelima transpuan di atas hampir berbanding 180% yang dialami Inang Novi asal Wutik, Desa Koting D, Kecamatan Koting Mba Novi. Novi berkisah ia merupakan bungsu dari lima bersaudara.
Novi mengaku sejak kecil terpaksa harus harus hidup tanpa kasih sayang orang tua, karena kedua orang tuanya meninggal ketika dirinya masih berusia di bawah umur. “Mama meninggal ketika saya belum masuk SD. Sedangkan Bapa meninggal setelah tamat SD. Saya kecil belum merasakan kasih sayang orang tua.
Saya kemudian tinggal dengan kakak-kakak saya,” katanya.
Karena kondisi ekonomi keluarga, lanjut Novi, maka ia kemudian tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. ntuk menyambut hidup, lanjutnya, maka ia mencari pekerjaan di Seminari Tinggi Ritapiret. “Puji Tuhan saya diterima untuk bekerja di sana. Selama belasan tahun di di Ritapiret, saya belajar kerja di
hampir semua unit, kecuali bangunan. Saya pernah bekerja di dapur, klinik, gudang, ruang makan para romo, dan kebun,” kata Inang Novi polos.
Ditanya hal menarik apa yang ia petik selama belasan tahun di Ritapiret, Novi mengaku hal yang paling luar biasa dan itu yang memotivasinya untuk maju bekerja dan berusaha saat memutuskan menjadi
transpuan adalah ketika para romo, para suster, para frater dan karyawan Seminari Tinggi Ritapiret menerima dirinya apa adanya. “Selama belasan tahun di Ritapiret, saya diterima apa adanya. Para romo dan suster tidak membedakan saya dengan para frater. Kita sama di dalam Tuhan. Inilah yang memotivasi saya sehingga saya dengan optimis membawa diri saya sebagai transpuan dan menerima segala tugas sebagai
penyuluh 18 kelompok tani Desa Koting D dan sebagai koster di Stasi Santo Andreas Wutik, Paroki Fransiskus Koting. Semua tugas ini saya jalankan dengan baik, berkat pengalaman yang saya timba di Seminari Tinggi Ritapiret,” kata Novi.
Novi mengaku ia menjalani keberadaan sebagai transpuan secara bermartabat karena panggilan pekerjaan , tuntutan hidup dan bawaan sejak lahir. “Saya senang menerima diri saya apa adanya. Saya menjalankan keberadaan saya secara bermartabat. Saya menjalankan setiap tugas yang dipercayakan kepada saya baik tugas di Gereja, maupun tugas yang dipercaya oleh pemerintah desa. Saya juga mengembangkan usaha salon saya dengan baik. Jadi, saya transpuan yang bermartabat. Itu tadi berkat pengalaman yang saya timba selama bekerja di Seminari Tinggi Ritapiret,” papar Novi penuh optimistis.
Tanggapan Awak Media
Setelah mendengar syering pengalaman para transpuan,para awak media di antaranya Karel Pandu (Timex), Walburgus Abulat (Florespos.net & Pojokbebas.com); Tovik Koban (TVOne), Angga (Media Indonesia), Yunus
Atabara (Victory News), Roswita Irma Suswanti (Targetindo NTT), Albert (Florespedia.id), Sas (Floresnews) Marsel (Lenterapos) dan Ribery (Pikiran Rakyat) menaggapi secara buka-bukaan untuk mendalami beberapa
hal esensial dari keberadaan transpuan di di Kabupaten Sikka. Di antaranya soal apa yang mendorong mereka memilih menjadi transpuan, siapa-siapa yang meminati/pelanggan, bagaimana pengalaman
diskriminasi, bagaimana orientasi seksual mereka, tentang terobosan usaha, tentang pilihan gender saat dikuburkan bila meninggal apakah dikuburkan dengan identitas laki-laki atau transpuan; dan bagaimana
tanggapan mereka terhadap sorotan terkait pilihan hidup mereka sebagai transpuan mengurangi jumlah laki-laki yang tentunya merugikan kaum perempuan untuk memilih pasangan hidupnya yang butuh pasangan
heteroseksual.
Para awak media juga menyarankan transpuan untuk selalu melakukan hal-hal positif dan berguna sehingga semakin membuka mata semua orang terkait keberadaan mereka yang berkontribusi membangun Kabupaten Sikka dari usaha yang mereka kembangkan seperti salon, tenunan, perikanan, pariwisata, pertanian, dan sektor usaha lainnya.

Bukan Karena Tuntutan Seks, Tetapi Pilihan Hidup
Ketua Perwakas Sikka Ma Vera, Ketua Fajar Sikka Bunda Mayora, dan Yolanda Miranda menjawahi pertanyaan para awak media secara gamblang di mana mereka menegaskan bahwa pilihan mereka menjadi transpuan bukan merupakan pilihan karena orientasi seksual, tetapi terutama karena kodrat terlahir sebagai laki-laki namun dengan dominan kromosom XX, dan bukannya kromosom XY. “Pilihan menjadi waria itu bukan karena tuntutan seks tetapi karena banyak pertimbangan di antaranya pilihan hidup, karena dominasi
kromosom XX meskipun terlahir sebagai laki-laki, dan tuntutan hidup/pekerjaan,” kata Ma Vera dan Yolanda.
Penegasan yang sama disampaikan Ketua Fajar Sikka, Bunda Mayora yang juga memandu jalannya pertemuan perdana transpuan dengan para awak media ini.
Bunda Mayora menjelaskan bahwa keberadaan waria di Sikka semakin diketahui publik berawal dari Gempa Tektonik Tahun 1992 yang membuat hidup warga Sikka mengalami kesulitan, termasuk waria. “Untuk menyambut hidup, para waria harus aktif berkarya dan bekerja. Karena itu, setelah gempa mereka pergi merantau di Jawa. Sampai di Jawa, mereka bertemu yang namanya Persatuan Waria Kota Surabaya
(Perwakos). Ada kegiatannya. Kemudian berdasarkan pengalaman di Surabaya, maka kemudian di Maumere dibentuk Perwakabs (Persatuan Waria Kabupaten Sikka) itu menjadi awal penerimaan masyarakat terhadap
kelompok minoritas gender, secara khusus adalah waria,” kata Bunda Mayora.
Bunda Mayora pada kesempatan ini juga mensyeringkan bagaimana keberadaan awal waria atau Kobek (dalam Bahasa Sikka) di mana dulu mereka selalu Nongkrong di Bola M. “Dulu, kobek-kobek ini mereka nongkrong di Bola M. Karena Nongkrong di Bola M maka mereka dianggap tidak normal, dianggap jahat, karena mereka juga cari uang, mereka disiram oli, mereka dipukuli. Mereka juga lari dari rumah setelah diketahui keluarga, mereka laki tetapi memakai lipstik,” kata Bunda Mayora.
Kerennya, lanjut Bunda Mayora, karena transpuan itu hadir bukan untuk dibuat-buat, tapi sudah bagian dari anugerah maka pelan-pelan kelompok minoritas ini teredukasi maka hadirlah Perwakas sebagai salah satu
komunitas yang mengumpulkan teman-teman ini. “Supaya apa, teman-teman ini aktivitas, berkarya, bekerja, dan iven-iven besar pertama itu membuktikan bahwa transpuan punya andil, punya pekerjaan, maka itu ke Surabaya, bentuklah komunitas sehingga hari ini mereka kuat,” kata Bunda Mayora.
Menurut Bunda Mayora, kalau kita berbicara tentang gender maka gender itu tidak hanya perempuan dan laki-laki . “Kalau kita bicara tentang gender itu banyak sekali. Budaya kita sendiri itu ada kobek, ada lai lamen. Itu sudah kelihatan dalam masyarakat kita.Tapi karena hidup kita dalam norma ada perempuan dan laki, maka kita membenarkan itu. Oleh sebab itu, gender sendiri itu adalah konstruksi sosial.
Kalau lihat dalam matriks, Laki itu maskulin, perempuan itu feminim. Laki itu harus merokok dan perempuan itu yang halus. Ini bagian dari diskriminasi yang dialami oleh perempuan dan kami ini imbasnya,” kata
Bunda Mayora.
Sebagai kelompok minoritas gender yang dianggap mengadopsi peran perempuan akibat budaya patriarki, lanjut Bunda Mayora, maka transpuan ditindas sehingga tiga transpuandalam satu keluarga di Bolas ebagaimana yang ditayangkan dalam video dokumenter oleh BBC.News yangm enenun tenun ikat dinilai janggal oleh keluarga.