Kembali ke topik di atas. Apakah tindakan ‘mengabadikan tubuh’ dalam bentuk pengambilan gambar (foto), bisa dibaca sebagai manifestasi pandangan yang positif terhadap tubuh? Apakah ‘tubuh’ yang ada dalam foto bisa mewakili diri seseorang dan karena itu dianggap ‘telah hadir’ dalam sebuah kegiatan?
Tidak mudah untuk ‘menjawab secara defenitif’ terhadap pertanyaan itu. Satu yang pasti bahwa pada era teknologi digital ini, tubuh manusia diarak ke ruang publik sebagai ‘alat bukti’ bahwa kita telah mengikuti atau melaksanakan kegiatan. Tubuh, bahkan menjadi ‘obyek tontonan’ dalam ruang digital saat ini.
Jika tulisan dilihat sebagai instrumen ‘mengawetkan pikiran’, maka foto bisa menjadi sarana ‘mengekalkan’ raga. Dalam dan melalui selembar gambar, terungkap secuil ‘kisah dan suasana’ tertentu dari para pelaku yang terlibat. Bahkan ada kesan bahwa foto jauh lebih ‘bertenaga’ dalam membahasakan pesan, ketimbang kata-kata.
Tidak heran, jika saat ini mayoritas ‘warga-net’ lebih terpesona untuk ‘berswafoto’ dan memamerkannya ke ruang digital ketimbang ‘membagi’ pikirannya dalam bentuk tulisan. Umumnya kita lebih suka ‘merespons’ atau memberikan pendapat tentang foto, ketimbang sebuah artikel opini yang bermutu. Daya tarik foto, rasanya sulit ditandingi oleh ‘narasi’ yang dikonstruksi dalam pelbagai gaya.