Mengigau vs Estetika Berpikir

oleh Charles Jama, Dosen Seni Universitas Nusa Cendana

593
Estetika Caci dan Legalitas Tanah Ulayat
Penulis / Charles Jama. (Foto istimewa)

 

Berpikir Viralitas dan Mengigau

MASYARAKAT Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak dipimpin oleh Gubernur Viktor Laiskodat selalu dikejutkan oleh berbagai kebijakan yang kontroversial. Masih ingat dibenak kita, setiap Rabu masyarakat NTT diminta untuk berbahasa Inggris. Ide berbahasa Inggris untuk masyarakat NTT saya kira baik, namun terlalu bombastis. Kenapa bombastis?

Pertama, bahasa Inggris bukanlah bahasa resmi Negara Indonesia. Seharusnya gubernur melalui dinas terkait membuat program pendokumentasian bahasa-bahasa daerah di NTT yang hampir punah, sebab bahasa daerah merupakan kekayaan daerah ini.

Kedua, kebijakan ini tidak didasari oleh sebuah kajian ilmiah yang komprehensif. Terlebih lagi bahasa Inggris bukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat NTT dalam berkomunikasi. Kebijakan ini dibaca sebagai libido berpikir yang sesat.

Progam yang masih hangat sampai saat ini dibincangkan adalah menanam kelor dan mengonsumsi kelor. Program ini viral pada masa awal kepemimpinannya, dan selalu menjadi perbincangan masyarakat NTT. Barangkali program menanam dan mengonsumsi kelor sedikit berlebihan, mengingat masyarakat NTT sudah sejak lama mengonsumsi dan menanam kelor dipekarangan rumah.

Masyarakat NTT tahu bahwa kelor memiliki kandungan gizi yang baik. Tanpa program ini, masyarakat NTT sudah lama mengonsumsinya dan hingga sat ini masih mengonsumsinya. Juga, berbagai mitos dalam masyarakat kita, kelor berkaitan dengan persoalan mistis magis. Karena itu juga mereka menanam dan mengonsumsinya.

Sekarang ini kebijakan gubernur NTT yang lagi panas adalah mewajibkan siswa sekolah menengah atas (SMA) masuk sekolah jam 5.00 pagi. Kebijakan ini bagai petir di siang bolong, menggelegar seluruh jagat. Berbagai respon diutarakan baik di ruang maya ataupun dalam diskusi masyarakat kampus.

Bagi saya kebijakan ini seperti berasal dari orang yang sedang mengigau, bisa direalisasikan namun tidak masuk dalam kesadaran berpikir. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengigau dikategorikan sebagai verba (kata kerja) kata ini diartikan berkata-kata tanpa disadari seperti pada waktu tidur atau sakit. Kebijakan ini juga igau-igauan artinya dalam keadaan mengigau, sudah bangun dari tidur tetapi masih mengantuk. Lebih dari itu kebijakan ini seperti pengigau. Artinya, orang yang sering mengigau sewaktu tidur, orang yang suka berkata-kata yang bukan-bukan.

BACA JUGA :  Dilema Pendidikan di Tengah Covid-19

Padahal majunya pendidikan bukan karena masuk sekolah jam 5.00 pagi, atau berada pada klaster dua ratus sekolah terbaik. Akan tetapi majunya sebuah pendidikan apabila ada perubahan mendasar yaitu, perubahan tingkah laku. Dari kurang belajar menjadi rajin belajar, dari tidak tahu menjadi tahu. Dan perubahan tingkah laku itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan sistem pendidikan di sekolah.

Sistem pendidikan di Indonesia sudah mengaturnya secara jelas melalui kurikulum. Yang perlu ditekankan adalah komitmen sekolah dalam mengeksekusi kebijakan itu dengan baik. Faktor eksternal misalnya, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Banyak siswa NTT terjebak dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung. Suasana lingkungan di masyarakat yang tidak menjaga keheningan pada waktu belajar siswa. Faktor ini sebenarnya yang harus menjadi prioritas perhatian gubernur NTT dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di NTT.

Alasan logis yang dibangun oleh gubernur NTT terkait kebijakan ini adalah tidak satupun sekolah negeri di NTT yang masuk dalam 200 klaster sekolah terbaik di Indonesia. Baginya, dengan adanya sekolah unggul di NTT maka lulusannya bisa diterima di kampus-kampus ternama di Indonesia. Gubernur lupa bahwa, masuk di kampus-kampus ternama itu belum tentu menjamin masa depan siswa menjadi lebih baik. Yang terpenting menurut saya adalah siswa didorong untuk menguasai salah satu bidang yang menjadi minatnya agar menjadi pekerja dan pemikir yang professional dalam bidang yang diminatinya itu.

Dalam perspektif lain, kebijakan yang mewajibkan siswa masuk sekolah jam 05.00 pagi bagi sekolah tertentu adalah cara gubernur memviralkan pemikirannya. Sebab, program-programnya saat kampanye tidak berjalan maksimal dan tidak menyentuh pada masyarakat NTT. Program itu seperti orang yang sedang mengigau.

BACA JUGA :  Berkaca pada Ambruknya Jembatan Oje Ubi Kecil Kecamatan Palue Kabupaten Sikka  

Kekuatan Logika vs Logika Kekuatan

Kasus bank NTT belum selesai hingga saat ini. Diskusi di ruang publik tentang Bank NTT belum berakhir. Muncul kebijakan baru bagi siswa SMA masuk sekolah jam 05.00. Perhatian publik semua teralih pada kebijakan baru ini. Publik sedang digiring pada persoalan yang jauh dari kekuatan logika dan masuk pada logika kekuatan gubernur NTT.
Baca saja caption yang lagi viral digrup WhatsApp saat ini. Dalam caption itu ditulis gubernur berterimakasih atas segala kritikan yang konstruktif dan mau berdiskusi dengan syarat memiliki pengetahuan yang cukup, kepedulian yang cukup dan keberanian yang cukup untuk kemajuan NTT.

Pernyataan gubernur ini, kita warga NTT patut berterimakasih atas keterbukaan gubernur NTT yang mau membuka ruang dialog. Namun, persyaratan yang diajukan itu cukup mengganggu perhatian berbagai pihak. Persyaratan itu bagi saya bukan kekuatan logika tetapi logika kekuatan.

Apa itu kekuatan logika dan logika kekuatan? Sederhananya, kekuatan logika adalah argumentasi yang dibangun atas aturan mengenai penalaran yang tepat atau pemikiran yang masuk akal dan tidak terjadi pertentangan di dalamnya. Sedangkan logika kekuatan adalah cara berpikir seperti menyingsingkan lengan atau mengangkat kerah baju.

Berdiskusi tidak membutuhkan persyaratan. Esensi dari diskusi adalah memberi kesempatan kepada seseorang untuk menyampaikan gagasannya, dan memiliki pertimbangan sudut pandang yang berbeda. Tujuannya adalah memperoleh sebuah kebenaran dan menyelesaikan sebuah masalah.

Persyaratan yang diajukan oleh gubernur syarat akan sebuah pemaksaan ide dan kehendak terhadap yang lain.

Estetika Berpikir: Menyongsong Generasi Emas NTT

Untuk menyongsong generasi emas NTT perlu estetika berpikir. Estetika berpikir itu melibatkan bukan saja kemampuan logika tetapi kecerdasan hati. Ia terus bereksperimen, bereksplorasi, mengeksploitasi gagasannya dalam ruang akademis. Estetika berpikir itu seperti seorang seniman yang sedang menggarap karya seni. Ia masuk dalam ruang refleksi untuk menggali gagasan karya seninya. Ia menyelam ke alam dasar kesadaran estetik untuk mengambil sarinya kemudian menuangkannya dalam sebuah karya seni. Karya seni itu kemudian menjadi sesuatu yang bernilai bagi siapa saja.

BACA JUGA :  Estetika Caci dan Legalitas Tanah Ulayat

Siapapun masyarakat NTT perlu masuk dan terlibat dalam estetika berpikir. Estetika berpikir tidak berarti menjadi seorang seniman. Cukup dengan berpikir dan berbuat ala seniman yang sederhana namun berdampak bagi sesama itu sudah lebih dari cukup. Intinya, estetika berpikir itu bagus dalam menata pikiran, perkataan dan perbuatan.

Sekecil dan sesederhana apapun pikiran itu kalau membawa kebahagiaan bagi orang lain, generasi NTT emas akan terwujud. Tidak perlu seperti program yang sedang dilakukan ini, mengada-ada, asal buat, menyakiti orang lain karena tertekan. Penuh dengan kesadaran palsu seperti kata Karl Marx dan simulasi oleh Baudrillard.

Program masuk sekolah jam 05.00 pagi seperti dentuman meriam yang tidak memiliki peluru, hanya untuk mengatakan bahwa “aku ada di sini”.***

hanura

Leave A Reply

Your email address will not be published.