“VALENTINE bukan budaya kita. Budaya kita itu foto di pantai-gunung terus captionnya ‘healing”. Demikian bunyi kalimat yang ditulis oleh pemilik akun BPO Labuan Bajo Flores, 14/2/2023. Saya tidak tahu persis untuk tujuan apa tulisan itu dibuat.
Satu pertanyaan kritis saya adalah benarkah ‘budaya kita itu foto di pantai-gunung terus captionnya healing’? Sejak kapan ‘foto di pantai-gunung’ menjadi budaya kita, sedangkan Valentine bukan budaya kita?
Boleh jadi, pemilik akun BPO Labuan Bajo Flores hendak menyisipkan ‘kritik’ terhadap budaya merayakan Hari Kasih Sayang yang mungkin dalam konteks tertentu dinilai ‘bertentangan’ dengan ciri peradaban Timur kita. Tetapi, kritik itu menjadi kontraproduktif karena si penulis memproposalkan ‘budaya kita’ yang dikontraskan dengan Valentine, yaitu ‘foto di pantai-gunung’ terus dengan captionnya healing’.
Terlepas dari ‘pelbagai kritik’ terhadap perayaan Valentine Day itu, saya pikir tidak salah juga kita coba merefleksikan ‘esensi’ dari aktus merayakan cinta itu. Tesis saya adalah ketika ‘dimensi kasih diusung’ dalam perayaan itu, maka dalam dirinya sendiri (in se), perayaan itu bukan hal buruk.