Riwayat Sopir Truk Banting Stir Jadi Tukang Mebel

LABUAN BAJO, Pojokbebas.com– Heribertus Jedarus (48 tahun), mantan sopir dum truk, sekian lama berkelana bersama roda, kopling, gas dan rem. Kecelakaan maut nyaris renggut nyawanya. Kaki patah. Nyaris lumpuh. Bangkit dari keterpurukan, kini Heri -sapaan akrabnya- banting stir jadi tukang mebel (forniture maker). Heri menjadi pelaku UMKM sukses di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Riwayat kehidupannya penuh cambuk duri. Manis pahit ditelannya. Suka-duka, untung dan buntung merundungnya. Belajar dari pengalaman jatuh-bangkit itulah yang membuatnya matang-dewasa. Baca juga:
Nilai Investasi UMKM Jatim Rp430 Triliun, Ketua DPD RI: Angin Segar Pertumbuhan Ekonomi
Heri berasal dari Wae Mbeleng, Desa Benteng Kuwu, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Putra sulung dari 6 bersaudara. Buah hati bapak Yohanes Nggangguk dan Ibu Bergita Mahut. Ayahnya, bekerja di perkebunan SVD di Reo. Tamat SDK Wae Mbeleng, Heri masuk SMP Widya Bakti Ruteng. Talenta bisnisnnya mulai tumbuh ketika ia berusia 17 tahun.
Kisah awal kiprah permebelannya ketika bekerja di CV. Wae Palo, Ruteng. Mulanya jadi kondektur. Selanjutnya jadi sopir mobil dum truk CV.Wae Palo selama dua tahun. Tiga tahun berikutnya jadi tukang bangunan di CV.Wae Palo. Lima tahun bekerja di perusahaan itu, Heri menimba segudang pengalaman kerja otomotif dan mebel.
Kaki patah nyaris lumpuh
Dari CV.Wae Palo, Heri kembali ke Cancar. Bekerja sebagai sopir taksi Ruteng-Cancar. Belum genap setahun, ia mengalami kecelakaan maut. Lakalantas terjadi di ruas jalan Trans Flores, tepatnya di Lagar, Kecamatan Ruteng.
“Kaki saya patah. Saya dirawat oleh dukun di kampung Wae Mbeleng selama satu tahun. Selama 3 bulan saya merasa terkurung. Tidak bisa buat apa-apa karena kondisi sangat parah. Setahun saya menderita. Terpuruk dan nyaris lumpuh. Keluarga membawa saya ke Reo. Saya dianjurkan agar istirahat total di sana,” kenang Heri.
Beberapa tahun kemudian, Heri menikah dengan Maria Since Timur, gadis Nterlango, Desa Poco Likang, Kecamatan Ruteng. Mereka dikaruniai seorang putri. Untuk menghidupi keluarga kecilnya, ia bekerja sebagai tukang bangunan dengan upah seadanya. Ia kerap kali memborong pekerjaan bangunan di Cancar dan Ruteng.
Belasan tahun setelah menikah, biduk rumah tangganya acapkali dihantam gelombang masa kini. Heri menerima segala cobaan itu dengan sabar walau tertatih-tatih.
Sayang, kisah asmaranya bersama gadis Nterlango itu berkabut duka. Istrinya meninggal dunia. “Masa lalu saya sungguh kelam. Saya telah mereguk banyak pengalaman hidup, baik suka maupun duka,”ujarnya.

Markas Mebel (fornitur) milik Heribertus Jedarus (48) di simpang Mbodong, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto : Robert Perkasa, Jumat (18/3/2022).
Hijrah ke Labuan Bajo
Heri bangkit dari pusaran badai. Berkelana seraya tengadah. Mohon petunjuk Ilahi. Heri memutuskan tinggalkan kampung halaman. Putri semata wayangnya tinggal bersama orangtuanya di Reo. Heri hijrah ke Labuan Bajo pada tahun 1999.

Di Labuan Bajo, ia bekerja di toko Maha Putra sebagai tukang bangunan. “Gaji saya sistem borongan. Saya bekerja di toko Maha Putra selama tiga tahun. Selanjutnya saya pindah ke Hotel Bajo. Bekerja sebagai tukang bangunan selama enam tahun,” kisah ayah tiga anak itu.
Selama sepuluh tahun bekerja di Labuan Bajo, ia menjalin relasi kerja dengan banyak pihak. Kualitas pekerjaannya pun diakui banyak orang. Itu sebabnya Heri mengenal dan dikenal banyak orang.
Jodoh molas Kempo
Suatu hari di tahun 2012, ia mendapat tawaran mengerjakan bangunan rumah lantai dua di Kampung Compang, Desa Golo Kempo, Kecamatan Sano Nggoang. Dari beranda lantai dua inilah, kisah cinta jilid dua bersemi. Heri menemukan belahan jiwanya, Maria Elfina, gadis Desa Wae Lolos.
“Waktu itu saya sedang mengerjakan rumah lantai dua bapak Hanes Agas di Compang. Dari sanalah kami bertemu. Bertunangan. Kami menikah 9 tahun lalu,” tutur Heri sembari tersenyum.
Kini mereka dikaruniai dua anak perempuan. Putri sulung, Tari (11 tahun) siswi SDI Mbodong dan putri kedua berumur 5 tahun.
Tahun-tahun awal pernikahan, biduk rumahtangganya berlabuh lika-liku. Heri bersama kekasihnya seiring sejalan mengarungi samudera dengan kekuatan iman, harapan dan cinta menghalau badai. Dengan talentanya, Heri menunaikan pekerjaannya hari demi hari. Bangkit dari titik nol.
Beli mesin pres
Tujuh tahun kemudian. Tiba waktunya. Heri menerima orderan mengerjakan bingkai jendela rumah bapak Bene Baru di Teong Toda. Keluarga mereka, Bapak Gaba Bin juga ada di sana. Pensiunan PNS itu menyarankan Heri membuka usaha mebel (fornitur) secara mandiri. Tidak sebatas saran. Beliau juga menyiapkan bantuan tunai senilai harga mesin pres kala itu.
“Bapak Gaba Bin tawar saya beli alat sendiri. Tetapi saya tak punya modal sebesar itu. Beliau bantu saya uang tunai Rp20.000.000 untuk beli mesin pres di toko Pulau Mas di Ruteng. Dengan perjanjian, saya mengembalikannya sebesar Rp30.000.000 dengan cicilan per bulan. Habis cicilan, mesin jadi milik pribadi. Sejak itulah saya jalani pekerjaan ini. Saya berutang budi kepada bapak Gaba Bin,” ungkap Heri.
Setelah mesin dibeli, Heri kemudian mengontrak sebidang tanah yang terletak di simpang Mbodong. Sebulan Rp2.000.000. Di tempat itulah ia bekerja hingga kini. Heri menerima orderan beragam prabot rumah tangga dan kantor. Lemari, kursi, kosen pintu, jendela, daun pintu, tempat tidur dan menerima orderan kosen balok.
Heri mengaku pendapatannya mencapai belasan juta sebulan. Dengan itu, dia memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain itu membeli empat bidang tanah hasil karyanya selama enam tahun terakhir. “Standar pemasukan bervariasi. Kalau musim sepi Rp7 juta sebulan Kalau ramai bisa capai belasan juta rupiah sebulan,” aku Heri
Heri mengatakan, usahanya terdampak pandemi Covid-19. Pendapatannya anjlok karena sepi orderan. “Sebulan hanya dapat 1 juta rupiah. Kadang 2 juta rupiah. Sampai hari ini belum pulih”, ujarnya.
Terdampak pandemi Covid-19, Heri terpaksa ke bank dan koperasi kredit. Suntikan dana segar bank dan koperasi ini agar roda usahanya terus berjalan. “Saya terpaksa ke bank dan masuk anggota koperas kredit agar usaha saya berjalan. Lebih baik bayar cicilan tiap bulan ke koperasi atau bank daripada usaha macet,” pungkasnya.
Selama pandemi, Heri mengaku pernah mendapat BLT Provinsi melalui Pemdes Wae Lolos sebesar Rp300.000 per bulan selama setahun. (Robert Perkasa)

tanyakan bliau kk mungkin dia mau ambil mesin belahnya saya