Aroma Mangan (Puisi-puisi Gerald Bibang)

 

Gerald Bibang
Gerald Bibang

 

Oleh :  Gerald Bibang

Aroma Mangan 

Tentang aroma mangan di udara Satar Punda, jam malam mengitari lubang tambang dengan serangan kata-kata, anjing lapar mencuri makanan sisa dan menggigit pantat-pantat yang buang angin, kuda dan kerbau liar dari Lereng Mandusawu meruduk semak-semak di Luwuk dan Lingko Lolok untuk mencari air, semuanya atas nama perlindungan manusia dan kemakmuran pemilik tanah

Kami mendengar pernyataan-pernyataan yang dipernyatakan dari mulutnya dan mulut mereka (mungkin manusia, mungkin hewan, mungkin manusia seolah-olah hewan, mungkin hewan seolah-olah manusia), menebalkan kata-kata keras, bualan-bualan besar, caci maki dan bentak membentak, mewawancarai diri sendiri, menulis dan menayangkannya di media online dan youtube sendiri lalu memberi komentar sendiri dan meminta orang-orangnya sendiri mengomentari semau sendiri

Kepengecutan mereka (mungkin manusia, mungkin hewan, mungkin manusia seolah-olah hewan, mungkin hewan seolah-olah manusia) menyeruakkan aroma mangan dan batu gamping ke dinding-dinding semesta dan ke telinga lima samudera, menghantam kebutaan dinding waktu, membayangkan lubang menganga di situ, dan mereka masuk berlari dikejar segerombolan tahun yang membawakan mereka mati

Kami menunggu kecemasan-kecemasan berguguran oleh kebenaran yang tak pernah kalah karena kebodohan tak pernah kekal, ialah tahu akan kebenaran tapi dengan sengaja menerima dan mengakui kepalsuan

 

Tak Pernah Tua

seperti dua kekasih yang merindu
tak sejengkal berpisah meski palung samudera begitu dalam, dingin dan kejam
dan menjelma tangan-tangan maut yang menjulur
tapi bisikan-bisikan cinta tetap saja berdengung
benar, seuntai bakau tak pernah tua untuk dicinta dan mencinta
ini soal rasa, bukan semata-mata logika

Penumpang Sial 

BACA JUGA:
Kesehatan Kartika Putri Membaik, Siap Program Punya Anak Lagi

ini, si perempuan paruh baya, yang manis dan jelita
berteriak-teriak parau nyaris putus asa
sembari merenung dan berjalan dan terus berjalan
ah, ini benar-benar perjalanan edan utk menemukan apa yang diakuinya cinta sejati
pulau-pulau dan bukit-bukit hijau permai tak ia hiraukan
bagaikan penumpang sial yang dipaksa berlayar ke ujung-ujung jagat
tak kuasa ia mengutuk, apalagi menolak
kini ia sudah tak lagi digdaya
misteri cinta yah begitulah:
datang sendiri
deras mengalir bagaikan riak-riak anak sungai

 

Cinta Pedih

sejauh-jauh jarak pandang
yang tampak bayang-bayang
di pinggir jalan, hakekat dirinya sebagai debu
tiba-tiba ke alam sadar dan semesta, lalu menyatu
remah-remah masa lalu dan debu mesin penggali trototar menyerbu retinanya
ia menunduk dan membathin sendiri
kau kah itu yang membawa cinta pedih
menyeruakkan pilu dan menjatuhkan tangis
oh kekasih

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More