Jokowi dan Gibran Dapat Saja Menjadi Toksit bagi Presiden Prabowo

Oleh Julius Salang

MENTERI andalan Joko Widodo, Luhut Binsar Panjaitan atau yang lebih dikenal dengan sebutan LBP atau Opung Luhut, mengingatkan Prabowo untuk hati-hati dengan orang yang toksit.

Toksit artinya beracun. Racun yang mematikan. Pernyataan itu disampaikan oleh Opung Luhut di tengah Prabowo sedang sibuk menyusun tim kabinetnya.

Dalam suasana seperti itu, Opung Luhut mewanti-wanti Prabowo agar hati-hati dengan orang yang toksit.

Jelas bahwa Opung Luhut mengharapkan para menteri yang akan membantu Prabowo adalah orang-orang yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan, kepentingan pribadi, kepentingan partai politik dan kepentingan bisnis.

Biasanya, orang yang menjadi menteri kabinet berasal dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang berasal dari partai politik, dan kelompok kedua adalah kelompok yang profesional.

Pertanyaan kita adalah apakah para menteri yang berasal dari partai politik memiliki visi kebangsaan?

Sangat sulit bagi kita untuk meyakini bahwa para menteri yang berasal dari partai politik adalah figur-figur yang memiliki visi kebangsaan.

Sulit bagi kita untuk tidak mencurigai bawa figur-figur yang berasal dari partai politik akan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan atau kepentingan partai politik.

Secara kritis kita dapat mengatakan bahwa partai politik kita bukan kumpulan orang yang memiliki kepentingan kebangsaan.

Secara organisatoris kita dapat menduga bahwa para elit partai yang menguasai partai adalah para oligarkhi yang menguasai partai. Biasanya, kelompok inilah yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap partai.

Kebijakan-kebijakan partai politik lebih mencerminkan kepentingan bisnis atau kepentingan ekonomi mereka.

Mereka dapat mempengaruhi sikap fraksi di DPR. Sikap fraksi di DPR akan mendukung kebijakan pemerintah, kalau kebijakan pemerintah menguntungkan kelompok oligarki partai.

Namun, kalau kebijakan pemerintah tidak menguntungkan oligarki partai, maka mereka akan mempengaruhi fraksi di DPR untuk menolaknya.

Sikap fraksi di DPR dalam konteks ini tidak pertama-tama demi kepentingan bangsa dan negara, melainkan kepentingan kelompok oligarki.

Kalaupun sikap DPR menguntungkan bangsa dan negara, hal itu hanya kebetulan bahwa kepentingan bangsa dan negara sejalan dengan kepentingan oligarki partai.

Kesesuaian itu, tidak berbasis pada sikap kenegarawanan pada legislator.  Oligarki partai juga tidak hanya mempengaruhi para legislator di DPR. Mereka dapat saja menjadi salah seorang yang dipilih untuk menjadi menteri kabinet.

BACA JUGA:
Jokowi Resmikan SPKLU Ultra Fast Charging Pertama di Indonesia

Ketika seorang menteri menjadi bagian dari kelompok oligarkhi ini, maka sulit kita mengharapkan kebijakan-kebijakan politik ekonomi yang mereka keluarkan akan berbasis pada kepentingan bangsa dan negara.

Sebaliknya, kebijakan-kebijakan mereka akan cenderung mencerminkan kepentingan-kepentingan kelompok oligarki.

Kebijakan impor, kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan berbagai kebijakan pembangunan lainnya dapat menjadi arena bagi realisasi kepentingan para oligarkhi.

Kelompok-kelompok itulah yang mungkin dapat kita duga sebagai toksit yang diwanti-wanti oleh Opung Luhut.Opung Luhut, bercerita pengalamannya sebagai Menko Marves.

Opung membagi pengalamannya bahwa ketika ia ditunjuk menjadi Menko Marves banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebelumnya yang tidak berbasis pada kepentingan bangsa dan negara.

Kebijakan-kebijakan itu justru merugikan bangsa dan negara. Oleh karena itu, kepada Presiden, Opung mengusulkan supaya orang-orang itu, harus diganti.

Sebab, kalau tidak diganti, maka visi pembangunan pemerintah tidak akan berjalan.

Kelompok oligarki yang berasal dari partai politik dan kita duga sebagai golongan toksit itu bisa berasal dari lingkungan koalisi Prabowo Subianto-Gibran sendiri.

Kelompok toksit itu bisa berasal dari partai Gerindra, bisa juga berasal dari partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, bisa juga berasal dari Partai Golkar.

Atau Partai-partai koalisi lain yang tidak lolos parliamentary threshold, namun mereka memiliki jatah kursi untuk menjadi Menteri dalam Kabinet Pemerintahan Prabowo dan Gibran.

Mereka telah berjuang memanangkan Prabowo-Gibran. Oleh karena itu, berhak mendapat upah menteri.

Para menteri yang akan menjadi pembantu Prabowo di Kabinet tentu saja merupakan elit-elit partai.

Seperti yang sudah disinggung di atas, semua elit parti politik kita adalah kumpulan para oligarki yang memanfaatkan partai politk sebagai instrument untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan oligarkhi mereka.

Subjek dari kebijakan-kebijakan mereka bisa jadi adalah kepentingan oligarki. Kepentingan bangsa dan negara dalam hal ini hanya menjadi objek dari kebijakan mereka.

Objek yang dapat dieksploitasi untuk memenuhi kepentingan mereka. Kelompok kedua yang akan menjadi menteri bisa berasal dari kalangan profesional.

Namun, apakah para professional ini dapat membantu pemerintahan Prabowo secara profesional? Oleh karena mereka tidak memiliki basis politik, maka posisi mereka rentan untuk dipersolakan oleh para oligarki dari partai politik.

BACA JUGA:
Peluncuran Buku Tulisan Guru

Kalau para profesional ini mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan oligarki partai, bisa jadi mereka dapat diganti ditengah jalan.

Para toksit yang akan meracuni atau mengganggu visi kebangsaan dari Prabowo nanti tidak hanya berasal dari kalangan oligarki Partai Politik.

Toksit yang mengganggu dan meracuni Pemerintahan Prabowo bisa juga berasal dari Wakil Presiden yakni Gibran Rakabuming Raka.

Gejala Toksit itu sudah ada. Sebut sebagai misal, Gibran mengatakan akan sowan kepada para elit atau tokoh bangsa untuk mendapatkan masukan bagi penyusunan kabinet.

Padahal semua kita tahu, kabinet adalah hak prerogratif presiden. Gejala Gibran akan menjadi toksit bagi Prabowo juga adalah diskursus yang ada pada masyarakat yang menunjukkan gejala untuk mengatakan “Yes” bagi Prabowo tetapi no  untuk Gibran.

Secara hukum, Gibran sah menjadi Wakil Presiden, namun moralitas sosial akan terus mempersoalkannya bahwa ia adalah anak haram konstitusi.

Ia menjadi wakil presiden tidak melalui proses yang normal, melainkan proses karbitan. Gejala ini dapat saja berkembang menjadi menurunnya kepercayaan publik bagi pemerintahan Prabowo.

Jika kepercayaan itu terus menurun, maka pembangkangan publik bisa saja dapat terjadi. Selain Gibran, tokoh toksit itu bisa jadi adalah Joko Widodo itu sendiri.

Gejala ini juga dapat kita lihat dari opini-opini pulik bahwa halangan bagi PDIP untuk mendukung Prabowo adalah Joko Widodo. Joko Widodo dalam konteks ini adalah toksit bagi stabilitas pemerintahan Prabowo.

Tidak sulit bagi PDIP untuk bertemu Prabowo dan mendukung pemerintahannya, namun ada Joko Widodo dilingkungan Prabowo.

Oleh karena itu, maka kita mengharapkan Prabowo untuk bijaksana dalam menentukan para pembantunya nanti.

Jangan sampai ia akan memilih para pembantu yang memiliki masalah hukum, para pembantu yang mengutamakan kepentingan partai, para pembantu yang mengutamakan kepentingan oligarkhi.

Kita sunggu berharap, Prabowo dapat memilih para pembantu yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok.

Selain bijaksana memilih para menteri, Prabowo juga harus dapat menjaga jarak dari Joko Widodo. Prabowo harus memiliki rasa percaya diri bahwa yang menjadi Presiden dan memiliki hak prerogratif adalah dirinya dan bukan Joko Widodo.

Jangan sampai publik menilai bahwa Prabowo adalah boneka dari Joko Widodo.
Semoga.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More