Kebobrokan Kapitalis dalam Narasi Geotermal di Ngada
Oleh Fr. Ando Roja Sola, SVD, Anggota Ikatan Milenial Ngada-Maumere (IMADA MOF)

MASYARAKAT semakin menderita bertanda kebobrokan kapitalis semakin meraja lela. Narasi dalam bentuk iming-iming kesejahteraan atas tenaga panas bumi di Flores dipakai sebagai tajuk yang cukup menjanjikan. Proyek geotermal di Mataloko, Ngada Nusa Tenggara Timur pantas disebut sebagai “narasi kepemimpinan kapitalis”. Ini sistem kapitalisme modern yang memperbudak masyarakat Ngada mengatasnamai kesejahteraan secara ekonomi. Hingga saat ini proyek pembangunan kapasitas listrik menggunakan tenaga panas bumi kian berkembang meretas etika ekologi hingga menimbulkan ribuan pertanyaan. Selain itu sikap pemerintah kabupaten Ngada masih berdiri di ambang batas entah mau melanjutkan proyek atau membatalkan proyek tersebut, hal ini jelas menggambarkan ketimpangan kebijakan yang kurang etis. “Bapak pemerintah yang terhormat, masyarakat terlanjur memahami istilah-istilah geologi matematis sebagai iming-iming yang sudah direnggut dari lahan perkebunan dan atap seng yang berkarat”.
Mengutip tulisan Haris Prabowo dalam tirto.id, penderitaan masyarakat Mataloko, diwakili oleh kisah ibu Sabina. Ibu Sabina menjadi salah satu korban penipuan publik atas proyek panas bumi yang dilegalkan pemerintah kabupaten Ngada. Menurut ibu Sabina, atap seng rumah berkarat, udara belerang tercium di mana-mana, bahkan pemakaman orang tua harus digali takut terkena semburan lumpur panas. Atas penderitaan itu warga hanya mendapat bantuan berupa beras, ikan kaleng, dan mie instan. Jelas kebijakan kapitalis lebih sopan dari pembunuh psikopat. Pertanyaannya apakah beras, ikan kaleng, dan mie instan menjadi warisan untuk anak cucu dan modal untuk biaya pendidikan yang meroket? Pertanyaan ini jika dilemparkan di depan “gedung putih” yang jelas masyarakat hanya menerima kebijakan praktis sebagai bentuk perhatian karitatif.
Narasi geotermal di Mataloko sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1998. Program pembagunan ini dijanjikan untuk mengembangkan potensi panas bumi di Mataloko yang terletak di areal sekitar 5 km2 dengan potensi cadangan terduga sekitar 65 MW yang akan digunakan menjadi tenaga listrik. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, program ini dikoordinir oleh Ditjen LPE atas penandatangan kerja sama resmi Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM), Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi LPE, Pemda Kabupaten Ngada dan PT PLN. Selanjutanya catatan ini menerangkan pengembangan potensi sumber panas bumi yang terletak di sekitar 15 km sebelah timur kota Bajawa, ibu kota kabupaten Ngada, dimulai dengan survei pendahuluan oleh Direktorat Vulkanologi tahun 1984 dan 1997. Kegiatan eksplorasi dilakukan tahun 1997 hingga tahun 2002 oleh Indonesia (Direkorat Vulkanologi) dan Jepang (GSJ, West JEC, MRC dan Nedo) dalam rangka kerja sama The research cooperation project of the exploration os Small Scale Geothermal Resources in the Eastern part of Indonesia (ESSI).
Penelitian berbasis ilmu ini tidak berhenti di sini saja, tetapi terus berjalan mengikuti fakta operasional sejak dimulainya proyek ini di tanah Mataloko. Setelah 20 tahun berjalan penelitian berbasis ilmu pengetahuan dengan istilahnya yang cukup sumpek, terjawab melalui atap seng rumah yang berkarat, polusi udara belerang yang menyengat, beberapa anak sungai yang tercemar dan matinya humus tanah pada lahan-lahan produksi masyarakat setempat. Bahkan pada tahun 2009 Wikipedia merilis terjadinya lumpur panas di lokasi geotermal Mataloko kecamatan Golewa, kabupaten Ngada tepatnya tanggal 17 Januri 2009, menyusul semburan kedua pada dua lobang semburan di tanggal 20 Januari dan 21 Januari secara berturut-turut.
Berhadapan dengan narasi penelitian lapangan dan segala bentuk survei yang disebutkan, cukup pantas kita menyebutnya sebagai mitos modern yang dikembangkan oleh kapitalis sebagai bentuk kebobrokan publik. Sementara itu jeritan masyarakat masih dibentur oleh kepentingan sekelompok penampuk kebijakan atas dasar “tanggung jawab yang dibayar”. Pada konteks ini Pemerintah daerah setempat kehilangan tanggung jawab atas realitas yang terjadi. Realitas seng yang berkarat, udara belerang yang menyengat, lahan produksi yang rusak merupakan objek penderitaan dan kesengsaraan yang membutuhkan tanggungan ekonomis dan jawaban etis dari elit kepemerintahan.
Oleh karena itu, tanggung jawab diartikan sebagai jawaban yang diberikan atas kehadiran yang lain dan jawaban ini hendaknya dilihat sebagai bentuk pengakuan etis (Felix Baghi, 2012). Selanjutnya kita patut bertanya apakah Pemda Ngada yang dalam narasi disebut sebagai aktor yang mendatangani perjanjian pembangunan geotermal di Mataloko memiliki tanggung jawab etis? Jika realitas yang berjalan selama 20 tahun terakhir ini adalah jeritan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat Mataloko, maka narasi penelitian dengan lembaga terkait yang mantap tentunya belum mendapatkan tanggungan ekonomis dan jawaban etis.
Di tengah kesengsaraan masyarakat Mataloko yang masih marak-maraknya dengan narasi penipuan kapitalis tentang proyek geotermal sebagaimana diulas pada catatan di atas, muncul pula kebijakan yang lebih bobrok lagi tentang narasi proyek yang sama yakni pembangunan geotermal di Desa Radabata dan Desa Dadawea, Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada. Ini merupakan pertunjukan kehebatan kapitalis yang cukup sadis. Paham sadisme secara kontekstual mendapat implikasinya pada praktik bejat para pencuri harta di Desa Radabata dan Desa Dadawea. Sementara itu perhatian pemerintah setempat seolah-olah sudah dibungkus oleh “uang sirih pinang” atau trennya “uang rokok”. Masyarakat Radabata dan Dadawea berdiri sendirian bagai anak ayam kehilangan induknya. Ini realitas yang miris dan sangat memalukan.
Berdasarkan berita Tropis.co pada Rabu 2 Juni 2021, terdapat pematokan lahan secara ilegal oleh pihak PLN guna perolehan lahan untuk pembanguna geotermal yang sama. Sementara itu Pemda masih menaruh muka di hadapan masyarakat untuk melakukan sosialisasi guna bernegosiasi terkait pembangunan proyek PLTP. Melihat konteks ini, Pemda sepertinya belum mengalami pertobatan ekologis dan kebutuan moral etis. Tidak cukupkah tanda tangan perjanjian proyek geotermal di Mataloko yang berujung pada kesengasaraan masyarakat dan penderitaan yang sangat ngeri? Tugas Pemda ini semacam teka teki kanak-kanak yang mudah sekali ditebak. Jangan sampai kerdibilitas dan kebijakan yang kritis semakin melemah dalam tubuh pemerintah kabupaten Ngada.
Menutup tulisan ini, penulis mengajak dan menghimbau secara publik kepada seluruh masyarakat Ngada untuk lebih bersikap kritis terhadap rencana pembangunan dan pemberdayaan yang diperjuangkan oleh lembaga atau instansi tertentu. Kita sudah lama hidup di tanah leluhur yang kita yakini sebagai watu tana tuti muri uri logo ebu nusi (tanah hasil kerja keras leluhur). Oleh karena itu tanggung jawab merawat tanah leluhur tidak saja hanya sebatas menjaga harta warisan tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang sudah menjalin relasi religius dengan Dewa Zeta Nitu Zale (Tuhan di Surga). ***
Pemda Ngada dan Pemprov NTT sudah memberikan ijin. Sekarang tinggal kita bersiaplah bagaimana menghadapi pelaksanaan program tersebut kemudian terjadi human eror. Pemerintah tentu nya harus bertanggung jawab…
ini artikel terkeren yang saya pernah datangi, membahas tentang dunia sangat infromatif…recommended banget untuk kalian.. terima kasih admin.. sukses selalu